<<< Kembali
#2019 UBAH IMAN
Pasca diadakannya
Debat Calon Presiden dan Wakil Presiden beberapa waktu yang lalu, netizen di
seantero dunia maya mulai memberikan penilaian baik kepada paslon nomor urut 1
maupun paslon nomor urut 2. Beragam komentar diberikan baik itu komentar yang
positif maupun komentar yang negatif. Masing-masing orang tentu ingin memiliki
Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan harapannya. Maka perhatian yang
begitu besar diberikan untuk mengetahui kualitas jagoannya masing-masing
melalui apa yang dirancang sebagai program yang nantinya dirasakan masyarakat.
Namun di tengah hiruk pikuk penilaian terhadap debat yang sudah berlangsung
tersebut, ada beberapa netizen yang mengajukan pertanyaan yang menurut saya
sangat menarik. Pertanyaannya demikian, “Jika
kita memiliki Presiden dan Calon Presiden yang berkualitas baik, apakah kita
siap untuk juga menjadi Warga Negara yang berkualitas baik..?”
Pertanyaan ini menggelitik dan mengundang berbagai komentar. Jika dirasakan
dengan hikmat, pertanyaan sederhana ini sesungguhnya mengundangkan ajakan untuk
berefleksi secara mendalam. Benar bahwa sebuah negara harus dipimpin oleh
Kepala Negara, dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden, yang memiliki
kualitas yang baik. Mereka harus memiliki perhatian terhadap warga negaranya,
sekaligus memiliki kekuatan untuk berdiplomasi memperjuangkan kepentingan
bangsa. Akan tetapi, pemimpin yang berkualitas baik tidak serta merta cukup
untuk membawa bangsa ini ke arah yang baik. Dibutuhkan kesadaran seluruh rakyat
untuk juga mengambil peran dan melakukan tugas tanggung jawabnya selaku warga
negara. Ini penting karena tanpa kesadaran dan keikutsertaan warga negara,
apapun kebaikan yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan menghasilkan
perubahan yang signifikan dalam kehidupan berbangsa. Maka sangat penting untuk
seluruh warga negara mengubah paradigma untuk mau menyadari identitasnya selaku
bagian dari komunitas besar bangsa Indonesia dan selanjutnya mengambil peran
sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kesadaran membayar pajak, kesadaran
mentaati peraturan-peraturan, bahkan sampai kesadaran untuk menjaga lingkungan
sekitar akan membawa perubahan besar dalam kehidupan bersama. Harapan yang
dibangun adalah dengan keikutsertaan seluruh masyarakat negara ini maka
perubahan itu akan menjadi perubahan bersama, yang dilakukan bersama, yang
dinikmati bersama, dan yang disyukuri bersama.
Bacaan kita hari
ini seringkali menjadi satu ayat emas bagi orang beriman, yang sayangnya juga
sering disunat hanya berhenti pada ayat 28. Memang ketika kita membaca ayat 28
akan terdengar sangat indah karena bagian ini merupakan tawaran hidup nyaman. Gusti
Yesus menawarkan suatu kelegaan dan kelepasan, dalam artian suatu kehidupan
yang lebih baik, bagi orang-orang yang mendambakannya. Maka tidak jarang bagian
ayat 28 ini terpampang besar di tembok-tembok gereja seolah ingin mengatakan
bahwa jika orang datang ke Gusti Yesus melalui Gereja maka kelegaan itu akan
didapatkan. Persoalannya, bagaimana memaknai kelegaan yang diberikan Gusti
Yesus kepada orang beriman yang datang kepada-Nya? Nah, di sinilah masalah itu
terjadi. Orang beriman yang memaknai janji Gusti Yesus akan kelegaan sebatas
ayat 28 seringkali memahami sebagai situasi tidak berbeban, tidak melakukan
apapun, tidak perlu bekerja, dan macam-macam pemahaman lain yang pada intinya
dimaknai sebagai situasi “Tidak Lagi Menanggung
Beban”. Padahal ketika dilanjutkan ke ayat 29 dan 30, Gusti Yesus justru
mengungkap fakta yang berbeda. Kelegaan yang ditawarkan oleh Tuhan didapatkan
melalui penambahan beban yang baru, yang oleh Gusti Yesus dibahasakan sebagai
Kuk. Kuk adalah kayu penyangga yang ditempatkan pada bahu dengan tujuan agar
beban yang dibawa menjadi terasa ringan. Kita bisa membayangkan kuk sebagai
pikulan yang menolong orang untuk dapat membawa barang yang berat. Pikulan itu
memampukan orang untuk membawa keranjangnya dengan nyaman. Bayangkan jika tidak
ada pikulan. Orang harus membawanya dengan repot. Maka pikulan adalah sesuatu
yang menolong, sekalipun pada dasarnya itu adalah beban tambahan. Namun beban
itu memampukan untuk membawa beban yang jauh lebih berat dengan nyaman. Itulah
definisi kelegaan yang diberikan oleh Gusti Yesus. Tanggung jawab kehidupan
yang kita emban tidak serta merta diserahkan kepada Gusti Yesus dan kita
terbebas darinya. Sebaliknya, Gusti Yesus justru menambahkan beban yang baru
berupa panggilan orang beriman agar kita dapat menyangga beban-beban kehidupan
itu dengan lebih nyaman dan terasa ringan. Di titik inilah Gusti Yesus mengubah
cara pandang kita terhadap beban kehidupan. Gusti Yesus mengubah iman kita. Dia
bertahta sebagai pemberi kelegaan, tetapi Dia menghendaki kita turut bekerja
bergerak memikul tanggung jawab panggilan iman.
Dalam kehidupan keseharian kita seringkali berharap kita
menghidupi suasana yang santai dan tanpa beban. Kita akan merasa tidak nyaman
ketika beban kehidupan menghimpit serta menekan kita. Maka patutlah jika Matius
11 : 28 menjadi tawaran yang menggiurkan bagi mereka yang terbeban. Namun
perenungan pada malam hari ini justru membawa kita kepada pemahaman baru, bahwa
Gusti Yesus tidak pernah menjanjikan suatu keadaan tanpa beban bagi para
peneladan-Nya. Gusti Yesus menjanjikan kelegaan dalam bentuk kekuatan untuk
menanggung beban, melalui wujud tugas dan panggilan orang beriman. Gusti Yesus mengajak
pengikut-Nya untuk melakukan tanggung jawab dan panggilan orang beriman supaya
setiap kita merasakan kekuatan dalam menapaki kehidupan. Contoh sederhana,
seringkali orang justru undur dari aktivitas berpelayanan ketika tuntutan dan
himpitan tugas-tugas pekerjaan menumpuk. Malah tidak jarang orang yang berbeban
kehidupan diam menanti dan berharap, “Mbok
ada yang datang dan menolong aku!”, “Mbok
ada yang datang mendoakan aku!”, dan lain sebagainya. Namun di dalam diam
itu, acap orang malah tidak mendapatkan apa-apa. Sebaliknya ketika dia mau
untuk hadir terlibat dalam kehidupan bergereja dan berpelayanan, dia akan
bertemu dengan banyak saudara yang bisa jadi akan menjadi alat Gusti Yesus
untuk meringankan bebannya. Ada sukacita yang didapatkan ketika dia menikmati
kebersamaan dengan orang-orang lain. Bisa jadi dia justru diajak untuk
bersyukur ketika ikut berkunjung dan menjumpai ada orang lain yang memiliki
beban yang lebih berat. Kita sudah memiliki Pemimpin dan Pemilik Kehidupan yang
Benar. Permasalahannya maukah kita berjalan seturut dengan Dia, berjuang
bersama Dia, dan menjadi anak-anak Gusti Yesus yang setia dengan tugas
panggilan orang beriman? Sudah waktunya 2019 kita ubah iman kita. Dari iman
yang hanya meminta menjadi iman yang mau memberi, dari iman yang diam menanti
menjadi iman yang bergerak mengusahakan, dari iman yang maunya dilayani menjadi
iman yang melayani, dari iman yang pasif menjadi iman yang aktif. Mari memikul
kuk dan belajar dari Gusti Yesus, maka kelegaan yang sejati itu akan ada pada
kita. Amin.
|